“Jika dakwah adalah jalan yang panjang. Jangan pernah berhenti sebelum menemukan penghujungnya. Jika dakwah bebannya berat, jangan minta yang ringan. Tapi mintalah punggung yang kuat untuk menopangnya. Jika pendukungnya sedikit, Maka jadilah yang sedikit itu”

(Dari Seorang Pemuda yang senentiasa berdoa untuk diberi keistiqomahan menapak di jalan panjang na terjal ini)

Salam dakwah selalu buat para Aktivis Dakwah Sekolah (ADS).
Jangan pernah menyerah dengan situasi dan kondisi. Istiqomahlah hai mujahid muda !
Kata televisi dari segi semantiknya berasal dari bahasa Inggris, television. Kata tele diambil dari bahasa Yunani yang berarti jauh dan vision diambil dari bahasa Latin yang berarti pandangan atau pemandangan. Kata televisi pertama kali muncul tahun 1907 dalam majalah Scientific Magazine, akan tetapi transmisi televisi untuk pertama kali baru dilaksanakan tahun 1925 dengan menggunakan metode mekanis Jenkins. Pada tahun 1928 perusahaan General Electric melakukan penyiaran pertama kali di wilayah Schenectady, New York.

Selanjutnya menyebarlah teknologi ini ke seluruh dunia. Tahun 1935 Jerman mulai mengoperasikan televisi, menyusul Berlin pada tahun 1936 dan Inggris pada tahun yang sama. Tahun 1938 siaran televisi mengudara di Moskow dan Leningrad. Tahun 1952 Philipina memulai acara televisi, sedangkan di RRC, siaran televisi bisa dinikmati masyarakat tahun 1958.

Di Indonesia, dengan ambisi mercusuarnya, Presiden Soekarno memaksakan diri mendirikan stasiun pemancar televisi pada tahun 1962 berbarengan dengan pelaksanaan Asian Games di Jakarta. Muncullah TVRI dengan siaran teknologi hitam putih (black and white). Dengan ambisi besarnya, masih dalam situasi ekonomi yang porak poranda setelah mengatasi pergolakan daerah di tahun-tahun sebelumnya, disusul kemudian dengan kampanye militer merebut Irian Barat, Indonesia menyelenggarakan Asian Games. Di saat seperti itulah Bung Karno memerintahkan agar didirikan stasiun penyiaran televisi, media yang hanya ada di negara modern waktu itu. Dengan adanya stasiun televisi, akan terpancarkanlah berita Asian Games di Jakarta ke seluruh pelosok dunia. Ini berarti menunjukkan bahwa Indonesia sudah tergolong negara modern.

Untuk mendirikan stasiun televisi ini, tidak sempat dibuat studi kelayakan, sebagaimana lazimnya proyek besar. Personel dari Radio Republik Indonesia (RRI) dan Perusahaan Film Negara (PFN) kalang kabut memenuhi ambisi Pemimpin Besar Revolusi tersebut. Pada saat itu, bahkan rakyat Indonesia belum mengenal televisi itu apa dan seperti apa wujudnya. Hingga Pemerintah Soekarno selain mendirikan stasiun televisi harus pula menyediakan pesawat televisi (tv-receiver) di beberapa tempat di Jakarta agar (sebagian) masyarakat ibukota bisa menyaksikan acara televisi.

Kini, perkembangan stasiun pemancar telah sedemikian pesat. Antara tahun 1962 hingga 1988, TVRI merupakan satu-satunya stasiun pemancar siaran di Indonesia. Mulai tahun 1989, mulailah bermunculan stasiun televisi swasta yang diawali dengan kelahiran RCTI yang mengudara dengan decorder. Disusul tahun 1991 muncul siaran TPI secara nasional, dan hingga kini semakin banyak bermunculan stasiun televisi swasta seperti Indosiar, RCTI, ANTV, SCTV, TV-One, MNC TV, Global TV, Trans 7, Metro TV, Trans TV, dan lain sebagainya. Bahkan sekarang sangat banyak bermunculan televisi lokal di suatu propinsi tertentu. Jumlahnya sudah tidak terhitung lagi.

Bahwa televisi merupakan salah satu sarana pendidikan, hiburan dan sumber informasi, tidak perlu diperdebatkan lagi. Tetapi permasalahan yang muncul dengan sekian banyak stasiun televisi tersebut adalah: pada dimensi atau entitas mana televisi ditempatkan secara lebih dominan, baik oleh stasiun televisi itu sendiri, pemerintah, maupun masyarakat.

Hermin Indah Wahyuni mengungkapkan, televisi, sebagaimana media massa pada umumnya merupakan sebuah entitas bisnis, entitas sosial, entitas budaya sekaligus entitas politik. Dalam perkembangan selama kurang lebih 35 tahun semenjak 1962 hingga saat muncul reformasi pada 1997, TVRI menguasai pertelevisian di Indonesia telah menempatkan televisi sebagai entitas politik dengan menjadikan program siarannya sebagai alat propaganda kepentingan pemerintah, sehingga komunikasi berjalan searah (one way traffic communication).

TVRI sebagaimana juga media massa pemerintah pada umumnya di zaman Orde Baru, menurut Ashadi Siregar menjalankan tiga macam kebijakan komunikasi. Pertama bersifat terbuka dengan menggunakan konsep komunikasi pembangunan umumnya dan pers pembangunan khususnya, kedua bersifat semi terbuka dengan memanfaatkan seluruh media massa pemerintah untuk difungsikan sebagai media bagi mesin politik birokrasi Orde Baru, yaitu Golkar, dan ketiga adalah kebijakan tersembunyi berupa sakralisasi lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soeharto. Strategi ketiga ini menonjol sejak Menteri Penerangan Ali Murtopo dan dilanjutkan selama 15 tahun oleh Menpen Harmoko, bahkan semakin meluas meliputi anak cucu Soeharto.

Dalam perspektif inilah sekiranya tulisan George Gerbner, Dekan Annenberg School of Communication, menjadi bermakna. Gerbner menulis kritik terhadap realitas entitas politik yang ada pada pertelevisian Amerika, “Televisi merupakan agama negara yang baru yang dijalankan oleh Kementrian Kebudayaan, menawarkan kurikulum universal untuk semua orang, dibiayai oleh pajak tersembunyi tanpa perwakilan rakyat”.

Di Indonesia, pada awal kemunculan TVRI, televisi sebagai entitas politik negara telah dikukuhkan secara resmi dalam Keputusan Presiden nomor 27 tahun 1963, yang berbunyi, “Televisi nasional Indonesia memiliki fungsi sebagai sebuah instrumen komunikasi dalam kerangka pembangunan mental, spiritual, dan fisik, khususnya menuju pembangunan manusia Indonesia Sosialis”. Tampak televisi pada kondisi seperti itu adalah corong propaganda negara untuk penguatan nilai-nilai ideologi penguasa.

Di kutip dari http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=1043 dengan perubahan seperlunya

Bismillahirrahmanirrahim...

Apa sih hubungan Dakwah Sekolah (baca : DS) dengan Dakwah Kampus (baca : DK)? Mungkin itu salah satu pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut seorang kader yang masih belum memiliki pemahaman yang syamil akan keterkaitan dakwah sekolah dengan dakwah kampus. Akibatnya kadang Aktivis Dakwah Kampus (baca : ADK) enggan turun ke sekolah dalam aktivitas dakwah apalagi membina para pelajar. Perlu diketahui, cikal bakal dakwah kita dimulai dari sekolah ketika dibawa oleh muassis dakwah kita. Dan apakah kita selaku ADK juga tidak sadar bahwa dakwah sekolah dan dakwah kampus merupakan satu kesatuan dalam bingkai dakwah Islam.

Dakwah sekolah merupakan input terbesar untuk dakwah kampus. Majunya dan berkualitasnya dakwah kampus tergantung dari maju dan berkualitasnya dakwah sekolah. Hal ini bisa kita lihat dari kampus – kampus besar seperti UI, ITB, ITS, UNILA, UNAND, dan lain sebagainya, dimana kualitas dakwah kampusnya baik. Mereka banyak di support oleh dakwah sekolah yang mereka kelola ataupun yang diajak kerjasama. Regenerasi kader juga berjalan dengan sangat baik, dan tidak ada lagi angkatan tua yang sudah masuk masa selesai studi untuk mengurusi dakwah kampus maupun Lembaga Dakwah Kampus (baca : LDK) dan Lembaga Dakwah Fakultas (baca : LDF) serta lembaga – lembaga kampus lainnya (baca : BEM, HMJ, dan UKM).

Seharusnya ada sebuah program dan aktivitas yang menunjukkan harmonisasi dan korelasi antara DS dan DK. Bisa saja sebuah LDK mengadakan kegiatan daurah yang diperuntukkan bagi Aktivis Dakwah Sekolah (baca : ADS), atau dengan menjadi Murabbi, Mentor, Muwajjih, maupun Trainer. Bisa juga dengan mengadakan daurah pasca sekolah untuk siswa kelas 3 dengan materi pengenalan kampus sehingga mereka memiliki bekalan sebelum masuk ke kampus.

Wahai para ADK, sekali lagi diingatkan kepadamu... DS dan DK merupakan satu kesatuan yang utuh dalam bingkai dakwah Islam. Jangan ada dikotomi tetapi hiasilah dengan harmonisasi. Mereka adalah cikal bakal penerusmu kita akan mengalami kesulitan dalam memajukan dinamisasi Dakwah Kampus. Wallahu’alam

Disini kita menyadari bahwa betapa pentingnya keberadaan Dakwah Sekolah terhadap keberadaan Dakwah Kampus. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa Dakwah Sekolah merupakan penyuplai kader terbesar untuk keberlangsungan Dakwah Kampus, dimana anak-anak rohis sekolahan yang biasa disebut dengan ADS (Aktifis Dakwah sekolah) selepas mereka lulus dari sekolahan tentunya akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi dan dimana disitu diharapkan mereka dapat melanjutkan  perjuangan dakwah dan memperdalam ilmu baik itu di PTN/PTS. Yang jadi bahasan kita saat sekarang ini adalah bagaimana kita yang katanya sebagai ADK (Aktifis dakwah Kampus) -yang tentunya juga berasal dari Dakwah Sekolah- mampu mempertahankan status Dakwah sekolah sebagai pensuplai kader terbesar di DK. Sedikit yang terpikirkan oleh kita adalah bagaimana politik balas budi itu dilakukan.

Sebagian kita saat ini memang masih berada dalam suasana liburan, akan tetapi tidak ada alasan untuk tidak memikirkan permasalahan dakwah. Justru “aji mumpung” ketika di suasana liburan seperti sekarang tentunya sebagian kita berada di wilayah masing2 dan itu dapat dipergunakan untuk perkembangan dakwah di sekolah.

Perlu kita sadari bahwa sekolah merupakan tempat awal pembinaan seseorang mencari jati dirinya, oleh karena itu bisa dijelaskan disini bagaimana urgensi penjagaan Dakwah Kampus terhadap Dakwah Sekolah.
Oleh sebab itu, banyak cara yang bisa kita/DK lakukan untuk penjagaan dan kemajuan DS :
1.    Berperan sebagai Pengelola Dakwah Sekolah
Bisa kita mulai dari mengumpulkan alumni sekolah sesama mantan ADS. Disana kita bisa men’syuro’kan apa yang akan kita lakukan dan targetan yang dicapai
2.    Sebagai Mentor/Musyrif
Cara ini sangat ampuh karena kita terjun langsung dalam mengawasi perkembangan adik2 ADS.
3.    Sebagai Pemateri/Pengisi Acara
Banyaknya interaksi antara mahasiswa dengan siswa akan lebih memperluas wawasan mereka.(seperti yang di tulis dalam analisis dakwah kampus,ridwansyah)
Dan masih banyak lagi yang dapat kita/DK lakukan demi menjaga keberlangsungan Dakwah Sekolah yang tentu saja berimbas pada dakwah sekolah.
Wallahualam bisshowab....
ALLAHUAKBAR....