Bahagia saat I’tikaf di bulan Ramadhan

Di antara ibadah yang sangat dianjurkan pada saat bulan Ramadhan adalah I’tikaf di dalam masjid dengan niat ibadah kepada Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, terutama ketika memasuki malam-malam terakhir (10 malam terakhir) bulan Ramadhan –sangat ditekankan- oleh Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk memperbanyak ibadah dan melakukan aktivitas mendekatkan diri kepada Allah secara khusus yang dilakukan di dalam masjid (i’tikaf).

Adapun yang dimaksud i’tikaf disini adalah tinggal di masjid dengan niat tertentu karena taat kepada Allah SWT, beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Hukum I’tikaf adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan) dan merupakan bagian ibadah yang banyak dilakukan oleh Rasulullah saw.

Sementara itu dalil disyariatkannya i’tikaf terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwasanya Nabi saw beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan hal tersebut dilakukan hingga akhir hayatnya tidak terputus. Kemudian setelah beliau meninggal, maka istri-istrinya dan para sahabat melanggengkan ibadah i’tikaf ini (Bukhari Muslim).

Bagi seseorang yang ingin menunaikan ibadah maka hendaknya memperhatikan beberapa kaidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw, sehingga ketika kaidah-kaidah tersebut dijalankan niscaya I’tikafnya dapat diterima oleh Allah SWT. Nabi saw bersabda:

من اعتكف إيمانًا واحتسابًا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang beri’tikaf karena iman dan berharap ridha Allah SWT, maka diampuni segala dosa-dosa yang telah lalu”. (Ad-Dailami)

Adapun kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan oleh orang yang I’tikda adalah sebagai berikut:

1. Rukun i’tikaf, yaitu terdiri dari:

a. Niat; Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya segala perbuatan atau amal itu tergantung pada niat….(Bukhari).

b. Berdiam diri di masjid, ini sesuai dengan firman Allah:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“….Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku dan yang sujud”. (Al-Baqarah 125).

2. Tempat dan waktu I’tikaf; yaitu

a. Tempatnya adalah di masjid seperti disinggung di atas,

b. Adapun waktunya adalah sepuluh terakhir bulan Ramadhan, meski demikian boleh juga dari awal sampai akhir Ramadhan.

3. Etika i’tikaf, yang terdiri dari:

a. Menyibukkan diri dengan membaca Al-Quran, berdoa dan berdzikir kepada Allah dan menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak berguna.

b. Tidak menjadikan I’tikaf sebagai ajang untuk ngerumpi, mengobrol, tidur-tiduran dan melakukan aktivitas yang tidak bermanfaat dan membuang-buang waktu.

4. Larangan dan hal-hal yang membatalkan i’tikaf;

a. i’tikaf gugur apabila keluar dari masjid kecuali untuk buang air kecil, bersuci, makan dan kebutuhan lainnya.

b. Mencampuri wanita, firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“…… janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid…..” (Al-Baqarah 187).

c. Apabila perempuan yang beri’tikaf haid atau nifas.

d. Orang murtad dan gila.

Tujuan dan pentingnya melakukan I’tikaf

Berbahagialah orang yang bisa melakukan ibadah I’tikaf selam bulan Ramadhan, terutama pada 10 hari terakhir, karena disamping telah menghidupkan sunnah nabi saw, mendapatkan jaminan ampunan Allah, dan menggapai malam kemuliaan (lailatul qadar), juga memiliki nilai-nilai mulia dan pendidikan.

Karena itu sangatlah penting bagi setiap muslim untuk memahami apa tujuan dan pentingnya melakukan I’tikaf. Adapun inti dari melakukan ibadah adalah sebagai berikut:

a. Ibadah i’tikaf dapat mengembalikan jati diri manusia sebagai hamba di hadapan Allah dan memiliki kewajiban mengabdikan diri kepada-Nya, Allah SWT berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat:56).

Sementara itu, tujuan hakiki dari segala ibadah yang diperintahkan adalah mencapai derajat taqwa, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai sekalian manusia, beribadahlah kepada Allah SWT yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa”. (Al-Baqarah:21)

b. Mendapatkan kesempatan untuk menggapai lailatul qadar, yaitu malam menggandanya pahala dari setiap ibadah dan amal yang dilakukan seakan melakukan ibadah dan amal shalih selama 1000 bulan. Dan salah satu tujuan dari i’tikafnya Rasulullah saw adalah menggapai lailatul qadar yang turun pada malam sepuluh terakhir Ramadhan.

c. Membiasakan diri untuk akrab dengan masjid dan shalat jamaah di masjid, serta menunggu saat-saat berkumandang ibadah shalat wajib. Karena semua itu merupakan sarana menggapai pahala berlipat ganda. Nabi saw bersabda:

الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي صَلَّى فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ تَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ

“Sesungguhnya malaikat mendoakan kalian selama di masjid dan dalam keadaan suci; Ya Allah ampunilah dan kasihanilah…...(Bukhari).

d. Membiasakan diri jauh dari kehidupan mewah dan zuhud dalam urusan dunia.

e. menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang non produktif dan perbuatan yang tidak bermanfaat.

f. Pembelajaran untuk memiliki sifat sabar yang terus-menerus; sabar dari mengekang diri, makanan, istri, kasur yang empuk dan lain sebagainya.

Oleh karena itulah dengan melakukan i’tikaf secara baik dan benar seperti diterangkan di atas, seorang mu’takif akan mendapatkan hikmah dan keutamaan yang sangat besar; menggapai pahala berlipat ganda, meraih ampunan Allah SWT, di doakan para malaikat, terbebas dari api neraka, dan menggapai lailatul qadar.

Bahagia saat menunaikan zakat fitrah

Selain sedekah dan zakat maal yang ditunaikan umat Islam pada bulan ramadhan karena berharap dilipatgandakan pahalanya adalah zakat fitrah.

Namun jika sedekah dan zakat maal atau yang sejenisnya dapat ditunaikan pada bulan lain diluar bulan ramadhan maka zakat fitrah dikeluarkan dan diwajibkan hanya pada ramadhan saja. Dan inilah salah satu ciri khas kedua dari bulan Ramadhan. Sebagaimana sebelumnya telah dibahas tentang bahagia saat menunaikan shalat tarawih pada bulan ramadhan, karena pada bulan inilah shalat tarawih digalakkan secara berjamaah setelah shalat Isya oleh umat Islam di seluruh dunia sementara pada bulan tidak dianjurkan kecuali dengan menunaikan qiyamullail. Adapun ibadah khusus lainnya yang hanya dilaksanakan pada bulan ini adalah zakat fitrah yaitu kewajiban mengeluarkan harta dalam bentuk tertentu (makanan pokok) dengan kadar tertentu dari setiap muslim sejak awal bulan ramadhan hingga terbit fajar menjelang ditunaikannya shalat idul fitri yang diberikan untuk orang-orang fakir dan miskin.

Kewajiban ini dikenakan kepada setiap individu umat Islam yang kedapatan pada tahun itu bulan ramadhan, termasuk seorang bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya sebelum berakhir masa ramadhan juga terkena kewajiban mengeluarkan zakat tersebut yang mana orang tua bayi tersebut berkewajiban membayarkan zakat fitrahnya.

Dan Zakat Fitri, atau yang lazim disebut zakat fitrah, juga disebut sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Hal tersebut karena Allah SWT mensyariatkan atas umat untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan walaupun boleh ditunaikan sejak awal hadirnya bulan Ramadhan hingga menjelang dimulainya shalat idul fitri.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

“Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Abu Daud, Ibnu Majah)

Makna Zakat Fitrah

Makna dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa. Dan dari berbagai ucapan para ulama tentang wajib fitrah maksudnya wajib zakat fitrah. Dan istilah zakat fitrah dikalangan para ulama dan masyarakat awam lebih populer disebut ِ zakat fithri atau shadaqah fithri. Dan kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan.

Hukum Zakat Fitrah

Jumhur ulama menegaskan bahwa zakat fitrah hukumnya wajib. Dasarnya adalah hadits Nabi saw:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar ra ia mengatakan: “Rasulullah Saw menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Bukhari dan Muslim)

Dari hadits diatas tampak jelas bahwa Nabi mewajibkan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?

Nabi Saw telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336) Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya.

Imam Nafi’ mengatakan:

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ

“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Al-Bukhari)

Orang yang tidak mampu wajib berzakat fitrah

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)

Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553, lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)

Bentuk Zakat Fitrah

Zakat fitrah pada dasarnya berupa bentuk makanan pokok pada setiap individu. Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ

“Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Bukhari dan Muslim)

Kata Tho’am (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:

قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ

“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah Saw pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Bukhari)

Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.

Namun permasalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama;

Pendapat pertama:

Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Daud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah SWT. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.

Imam Nawawi berkata: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401). Sementara itu Abu Daud berkata: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.” Begitu pula Ibnu Qudamah berpendapat: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)

Pendapat kedua:

Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)

Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang.
Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.

Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)

Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….”

Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.

Ukuran yang Dikeluarkan

Dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Saw menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu? Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.

Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai al-marhum Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan para anggotanya memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371) Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)

Waktu Mengeluarkan zakat fitrah

Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Saw menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.

وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”

Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu.

Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya [1]. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Bukhari)

Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ

“Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa’)

Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.

Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id

Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Saw berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Dari Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Ied) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Abu Daud danIbnu Majah)

Ibnul Qayyim berkata: “Konsekwensi dari dua [2] hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21) Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.

Sasaran Zakat Fitrah

Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.

Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).

Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

Dari Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”

Ibnul Qayyim mengatakan: “Diantara petunjuk beliau Saw, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936)

Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).

Definisi Fakir dan Miskin

Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.

Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.

Diantaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237)

Diantara alasannya adalah karena Allah SWT lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”

Tentu Allah SWT menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah SWT berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”

Allah SWT menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal. Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.

Standar zakat yang Diberikan kepada Mereka

Bahwa zakat fitrah yang diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka. Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.

Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah

Bahwa Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jika wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang bersangkutan tidak ada di sana, maka diperbolehkan.

Hikmah kewajiban zakat fitrah

Dalam yang disebutkan tentang kewajiban zakat fitrah nabi saw menyebutkan tujuan zakat fitrah dan itu juga menjadi hikmah dari kewajiban berzakat yaitu dua perkata:

1. Bagi yang menunaikan zakat fitrah berupa kesucian jiwa dan penyempurna puasa dari tindakan dan perilaku yang tidak berguna pada saat menjalankan ibadah puasa.

2. Bagi yang menerima zakat fitrah berupa kesenangan dan pemenuhan kebutuhan pada saat umat Islam bergembira.

Dari dua hikmah diatas dapat kita simpulkan bahwa zakat dapat memberikan kebaikan kepada dua pihak; muzakki dan mustahik. Tumbuhnya kepedulian dari kalangan umat Islam antara muzakki dan mustahik. Islam sangat konsen dalam mengentaskan kemiskinan, apalagi jika kita pahami secara mendalam kewajiban zakat secara umum. Jika hal ini dapat diwujudkan secara baik dan optimal maka tidak akan ada lagi orang-orang miskin, tidak ada lagi orang-orang yang keluar dari rumah untuk meminta-minta, berdiri di trotoar jalan, berkeliling kampung, masuk gang dan lorong untuk meminta zakat dari orang-orang kaya.

Berbahagialah orang yang dianugrahkan banyak harta oleh Allah SWT, dan berbahagi pula bagi mereka yang mampu membayarkan zakatnya; zakat mal, zakat fitrah dan sedekah.

Bahagia saat akan berakhir bulan Ramadhan

Kadang tidak terasa bulan Ramadhan sudah berada di akhir perjalanannya, hari-hari yang indah akan berlalu, waktu-waktu yang penuh berkah akan berakhir, tentunya seorang muslim patut berbahagia mampu melaksanakan ibadah Ramadhan hingga di penghujung terakhir.

Sebelumnya seorang muslim bergembira dengan datangnya Ramadhan. Mengawali indahnya sahur dan buka pertama pada hari pertama bulan Ramadhan. Mengenang begitu nikmatnya berbuka puasa, menunaikan shalat tarawih berjamaah, tilawah Al-Qur’an, shalat berjamaah di setiap shalat wajib, mendengarkan ta’lim, bersedekah dan membayar zakat, beri’tikaf, bermunajat, dan amalan-amalan baik lainnya, tidak terasa sudah berada dipenghujung bulan Ramadhan.

Walaupun –tidak dapat dipungkiri- dengan berakhirnya bulan Ramadhan banyak perasaan yang muncul di hati yang bercampur menjadi satu; ada kecemasan dan rasa sedih serta duka manakala menyadari bahwa bulan yang penuh dengan kebaikan dan pahala akan berakhir, apalagi ada perasaan takut, cemas dan khawatir jika usia tidak sampai pada Ramadhan berikutnya; begitu pula ada rasa bahagia, senang dan gembira, manakala telah berhasil menjalankan ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya, dan berharap berakhir dengan mendapatkan derajat yang paling mulia disisi Allah yaitu taqwa. Allahumma amin.

Dan mungkin yang paling tepat untuk kita baca adalah

اللهم تقبل منا صيامنا وقيامنا وركوعنا وسجودنا وتخشعنا وتصرعنا وتلاوتنا وتصدثنا وتمم تقصيرنا برحمتك يا أرحم الراحمين

“Ya Allah terimalah puasa kami, qiyam kami, ruku’ kami, sujud kami, kekhusyuan kami, ibadah kami, tilawah kami, sedekah kami dan sempurnakanlah segala kekurangan kami wahai Zat yang Maha Kasih dari yang mengasihi”.

Dan juga membaca doa sebagaimana yang nabi ajarkan

اللهم بلغنا رمضان

“Ya Sampaikanlah kami pada bulan ramadhan”

Dan guna menjaga nilai-nilai taqwa dan memelihara kesan baik pada bulan Ramadhan setelah menyelesaikan puasa di bulan Ramadhan, maka nilai-nilai positif dari puasa dan amalan-amalan lainnya harus tetap dipertahankan; menjaga shalat wajib secara berjamaah, senantiasa tilawah Al-Qur’an, qiyamulail, sedekah, dan memupuk solidaritas dan kepedulian serta memelihara nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa; sikap rendah diri, pemaaf, ikhlas, dan lain sebagainya.

Berbagai kebahagiaan berakhirnya bulan Ramadhan

Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah dan amaliyah pada bulan Ramadhan; maka ada beberapa kebahagiaan yang insya Allah dapat kita rasakan;

1. Bahagia telah berhasil dengan sempurna melaksanakan dan menunaikan ibadah dan amaliyah pada bulan Ramadhan.

Seperti harapan kita yang dimohonkan pada awal memasuki bulan rajab; “Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan”. Telah terkabul.

Dan harus kita akui bahwa berhasilnya menunaikan segala aktivitas dan amaliyah bulan Ramadhan, dengan kondisi iman yang mantap, fisik yang kuat, dan mental yang sehat merupakan anugerah yang tidak terhingga, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat. Ali bin Abu Thalib pernah berkata: “Sehat jasmani adalah anugerah yang paling indah”

Melalui aktivitas dan amaliyah ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Seperti yang telah dijanjikan oleh Rasulullah saw bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.

2. Bahagia dapat menumbuhkan kepedulian terhadap sesama

Kebahagiaan kedua yang dapat kita rasakan pada saat berakhirnya bulan Ramadhan adalah karena kita telah mampu menunaikan kewajiban zakat; terutama zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan, dan memunculkan sikap kepedulian terhadap sesama.

Bahwa diantara tujuan dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat selain mengupayakan kesucian diri, keberkahan harta benda yang dimilikinya, juga dapat menghilangkan sifat kikir, menampakkan kepedulian dan tolong menolong antar sesama, sehingga tidak ada kesenjangan yang jauh antara orang kaya dan miskin.

Selain menunaikan zakat yang menjadi kewajiban, kita juga dianjurkan untuk melaksanakan ifthar jama’i (berbuka bersama) walaupun dengan memberikan seteguk air putih; dengan mengajak taman, saudara (dekat dan jauh), tetangga, dan terutama fakir miskin untuk berbuka atau memberikan makan untuk berbuka, sehingga dengan demikian mendapatkan pahala dari orang yang berpuasa tanpa dikurangi pahala puasa orang tersebut.

3. Bahagia dapat menjalin hidup berjamaah; baik shalat, ifthar, mengikuti ta’lim dan lain sebagainya.

Bahwa diantara misi puasa yang Allah SWT turunkan kepada umat Islam adalah bagaimana dapat menjalin kerja sama yang baik dan taqwa, merasakan indahnya hidup berjamaah, indahnya hidup saling berbagi, nikmatnya hidup yang penuh dengan ilmu. Kesemua itu dapat kita rasakan pada bulan ramadhan, terdapat tarbiyah itjima’iyah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jika ini dapat kita pertahankan maka kehidupan umat Islam akan baik dan penuh dengan keharmonisan. Maka kelak Allah akan berkenan menjadikan hidup ini penuh dengan keberkahan dan kebaikan. Menjadi negeri yang

بلدة طيبة ورب غفور

“Negeri yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun”

4. Bahagia dapat menggapai malam seribu bulan

5. Bahagia dapat melakukan silaturahim

Rasulullah saw bersabda:

من سره أن يبسط له في رزقه وأن بنشأ له في أثره فليصل رحمه

“Barangsiapa yang ingin dimudahkan rezkinya dan dipanjangkan usianya maka sambunglah tali persaudaraan”(Bukhari dan Muslim).

Tradisi “halal bi halal” yang ada pada setiap hari raya iedul fitri adalah kesempatan yang baik untuk menyambung tali silaturrahim. Yang tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memaafkan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an:

إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم

“Sesungguhnya hanyalah orang-orang mukmin sajalah yang bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu” (Al Hujurat: 10)

6. Bahagia dapat menggapai derajat taqwa

Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al-Baqarah:183)

Bahagia saat menggapai lailatul Qadar di bulan Ramadhan

Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Qadar:1-5)

Nabi saw bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Gapailah lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan” (Bukhari)

Dari Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَه

“Adalah Rasulullah saw apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya. “ (Bukhari dan Muslim).

Bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat dirindukan dan dinanti-nantikan orang-orang beriman karena kemuliaan dan keagungan yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah karena di dalamnya terdapat Lailatul Qadar (malam kemuliaan) yaitu malam pertama kali diturunkannya Al-Qur’an dan oleh Allah diberikan peluang kepada hamba-hamba-Nya untuk menggapainya.

Secara harfiyah Lailah berarti malam. Sedangkan Qadar berarti takaran, ukuran, sesuatu yang bernilai dan sesuatu yang terbatas.

Sementara itu, secara istilah para ulama beragam dalam mengartikan kata lailatul qadar;

- Ada yang menyebutnya dengan malam kemuliaan, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan kitab suci al-Qur’an yang merupakan sumber kemuliaan manusia. Allah SWT berfirman:

لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuh kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagi kamu. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (Al-Anbiyaa:10)

- Adapun ulama lainnya mengartikan lailatul qadar sebagai malam yang sangat bernilai. Karena pada malam itu ketaatan manusia akan mendapatkan nilai yang tinggi dan pahala yang besar. Bila dihitung secara angkat maka akan diperoleh (1000 bulan X 30 hari X 10 kebaikan = 300.000 kebaikan.

Dan untuk memotivasi para sahabat tentang nilai bulan Ramadhan, maka sejak awal memasuki bulan Ramadhan beliau bersabda:

إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلَّا مَحْرُومٌ

“Sesungguhnya, bulan Ramadhan telah hadir di tengah-tengah kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan pada malam tersebut, berarti ia telah diharamkan dari semua kebaikan. Dan tidak ada yang diharamkannya melainkan orang-orang yang benar-benar merugi,” (Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Sedangkan pendapat lainnya adalah yang mengatakan bahwa lailatula qadar adalah malam yang sesak dengan Malaikat, sebab kata Qadar dapat berarti sempit. Sesat oleh para malaikat berarti mengandung banyak kebaikan dan keberkahan, karena mereka adalah makhluk paling mulia, yang tidak pernah melakukan kesalahan dan selalu taat dari apa yang diperintahkan. Dan pada malam itu pula para malaikat berdesakan sambil mengucapkan doa kebaikan untuk hamba Allah yang beribadah dan beramal shalih. Sebagaimana Allah berfirman:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Qadar:4-5)

Keutamaan dan keagungan lailatul Qadar

Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan keutamaan dan keagungan Lailatul Qadar, baik secara tersurat maupun tersirat, diantaranya adalah:

1. “Lailatul Qadar nilainya lebih baik dari seribu bulan, Artinya ibadah yang kita lakukan pada malam tersebut jauh lebih baik dari beribadah seribu bulan

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (Al-Qadar :3)

2. Malam tersebut penuh dengan keberkahan (kebaikan yang melimpah). Allah SWT berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkan (al-Quran) pada malam yang penuh keberkahan” (Al-Dukhaan:3)

3. Malam tersebut penuh dengan ampunan. Rasulullah saw bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang menghidupkan Lailatul Qadar (dengan ibadah) semata-mata karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu,” (Bukhari)

4. Malam tersebut adalah malam dimana para malaikat makhluk Allah yang suci turun ke dunia untuk memberikan salam kepada hamba-hamba Allah yang taat beribadah kepada-Nya

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Qadar:4-5)

Adapun terkait dengan waktu terjadinya Lailatul Qadar, para ulama beragam pendapat. Ibnu Hajar menyebutkan lebih dari 40 pendapat. Namun, bila kita membaca hadits-hadits Nabi SAW, dapat kita simpulkan sebagai berikut :

1. Lailatul Qadar terjadi setiap tahun pada bulan suci Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwa nabi saw bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul Qadar di malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadhan”. (Bukhari).

2. Lailatul Qadar terjadi pada tujuh hari terakhir pada bulan suci ramadhan. Sebagaimana yang dalam hadits imam Malik, diriwayatkan oleh ibnu Umar, beliau berkata:

أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Bahwa seseorang dari sahabat nabi bermimpi bertemu malam lailatul Qadar dapat tujuh malam terakhir, maka Rasulullah saw bersabda sesungguhnya saya juga melihat seperti mimpi kalian lailatul qadar pada tujuh malam terakhir, maka barangsiapa yang ingin mencarinya maka carilah di tujuh malam terakhir”. (Muwattha Malik)

3. Lebih spesifik lagi adalah pada tanggal 27 Ramadhan menurut pendapat mayoritas ulama dan tanggal 21 menurut Imam Syafi’i. Ibnu Abbas pernah meminta sahabat yang lebih tua, lemah dan tidak mampu berdiri berlama-lama untuk bertanya kepada Rasul, kapankah ia bisa mendapatkan Lailatul Qadar? Rasulullah saw menasihati agar ia mencarinya pada malam ke 27 (Thabrani dan Baihaqi).

4. Malam Jum’at yang jatuh pada tanggal ganjil, juga perlu diperhatikan, karena hari Jum’at adalah Sayyidul Ayyaam (penghulu hari-hari) dan Yaumul ‘Ied (Hari raya) pekanan bagi umat Islam.

Adapun yang paling baik kita lakukan pada Lailatul Qadar adalah beribadah dan ber-taqarrub kepada Allah. Sedangkan diantara ibadah yang dianjurkan adalah :

1. I’tikaf, yaitu berada di masjid. Karena, Rasulullah saw melakukan I’tikaf dan menjadikannya budaya yang tidak pernah beliau tinggalkan.

2. Qiyamul Lail (shalat Malam). Rasulullah saw bersabda:

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan qiyamul Lail karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lain,” (Bukhari)

3. Berdoa dan berdzikir.

عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا

“Aisyah ra berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu apabila aku mengetahui Lailatul Qadar? Apa yang sebaiknya aku ucapkan?” Beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, sesunggughnya Engkau adalah pemaaf dan menyukai maaf, maka maafkanlah daku),” (Tirmidzi).

Sementara itu, Lailatul Qadar dapat kita ketahui dari tanda-tandanya, seperti yang banyak diungkapkan para ulama dan ahli hadits seperti Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,

تَذَاكَرْنَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَذْكُرُ حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ وَهُوَ مِثْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ

“Kami saling mengingat-ingat tentang lailatul Qadar disisi Rasullah saw, lalu beliau bersabda: Siapakah diantara kalian yang ingat ketika bulan muncul seperti belahan kelopak mata”. (Muslim)

Dalam hadits lain seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hudzaifah dari Imam Ali berkata:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتُ حِينَ بَزَغَ الْقَمَرُ كَأَنَّهُ فِلْقُ جَفْنَةٍ فَقَالَ اللَّيْلَةَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ

Nabi saw bersabda pada saat saya keluar dan bulan telah muncul seakan seperti potongan kelopak mata, beliau bersabda: Inilah adalah lailatul Qadar” (Ahmad)

عَنْ زِرٍّ قَالَ سَمِعْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُا وَقِيلَ لَهُ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُا مَنْ قَامَ السَّنَةَ أَصَابَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ أُبَيٌّ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنَّهَا لَفِي رَمَضَانَ يَحْلِفُ مَا يَسْتَثْنِي وََاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا

“Dari Zur berkata: Saya mendengar Ubay bin Ka’ab berkata, disebutkan kepadanya bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: Siapakah yang berdiri melakukan shalat dan mendapatkan lailatul Qadar? Ubay berkata: Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia. Sesungguhnya ia terdapat pada bulan Ramadhan yang disumpahkan dari apa yang dikecualikan, dan demi Allah aku paling tahu malam berapakah itu terjadi, yaitu malam yang saya diperintahkan di dalamnya untuk shalat malam pada pagi harinya tanggal 27 dan tanda-tandanya adalah matahari terbit di pagi hari dengan cerah namun tidak ada cahaya matahari menyengat”. (Muslim)

Karena itu, marilah menggapai puncak bahagia saat mengikuti bulan Ramadhan dengan selalu menjaga hadirnya 10 malam terakhir, khususnya lailatul qadar, dengan harapan dapat meraihnya dan mendapat ampunan dan pahala berlipat ganda.